AKU DAN DIA KARENA KAMU
Oleh : Dheta Nalurita
Tin... Tin... Suara klakson mobil itu membuatku segera mengambil tas dan buku-bukuku yang belum sempat ku masukkan. Masih terdengar beberapa kali suara mobil itu, membuatku dengan cepat memakai sepatu secepat kilat. Aku pun dengan segera lari dan masuk ke dalam mobil antar jemput sekolahku.
Aku besekolah di salah satu SMP favorit di Surabaya. Kini aku duduk di kelas 8. Setiap pagi aku harus mendengar suara klakson itu di depan rumahku tepat jam 5. Dengan mata setengah terpejam aku duduk manis di kursi mobil itu dengan menjemput teman-temanku satu per satu. Kemudian tibalah aku di lapangan sekolah yang luasnya melebihi tempat parkir mall itu. Dengan malas aku berjalan dengan murid-murid yang lain yang tampaknya jenuh menjadi seorang pelajar.
Aku besekolah di salah satu SMP favorit di Surabaya. Kini aku duduk di kelas 8. Setiap pagi aku harus mendengar suara klakson itu di depan rumahku tepat jam 5. Dengan mata setengah terpejam aku duduk manis di kursi mobil itu dengan menjemput teman-temanku satu per satu. Kemudian tibalah aku di lapangan sekolah yang luasnya melebihi tempat parkir mall itu. Dengan malas aku berjalan dengan murid-murid yang lain yang tampaknya jenuh menjadi seorang pelajar.
Masuklah aku ke dalam kelas yang suram dan ramai itu, tak lain adalah kelas 8K. Suara teriakan, canda tawa anak-anak yang tak dapat direm itu terdengar tajam di telingaku. Aku duduk di bangkuku dan menyapa teman-teman kelasku yang sudah sejak pagi ramai seperti pasar. Kemudian pelajaran pun dimulai. Hal pertama yang dilakukan guru adalah mengabsen murid-muridnya agar terlihat guru yang handal. “Arindia Sarah Wirawan”, panggil guruku, tak ada jawaban. “Ri”, panggil temanku dengan senggolan siku di badanku. Oh ya, itu namaku Arindia Sarah Wirawan, panggil aja Riri hehe. Aku nggak sadar kalo namaku yang dipanggil. Maklum masih belom full nyawaku. Aku tak tahu apa yang dijelaskan oleh guruku, mata pelajaran Fisika yang membuatku tak ingin melebarkan mata. Yang ku harapkan saat itu adalah mendengar suara bel istirahat.
Kriiiiiiiing, bel istirahat berbunyi. Ya buatku bel istirahat adalah surga. Aku segera lari meninggalkan kelas suramku itu dan beralih ke kantin sekolah yang besarnya uda segede foodcourt di mall bersama sahabat-sahabatku. Disitu pula acara gosip hari ini dimulai, tentunya bersama sahabat-sahabatku Fania, Nita, Veli, dan Laras. Tampaknya aku yang paling polos karena aku belum pernah merasakan namanya pacaran, aku juga orang yang paling tertutup diantara mereka, yang paling muda pula. Karena itu aku selalu dianggap adik oleh mereka, tapi aku nggak childish lho.
“Eh guys, bikin facebook dong. Aku udah bikin lho...”, ucap Laras.
“Beres deh, sekarang kan lagi jamannya facebook. Aku nggak mau ketinggalan pastinya”, sahut Fania yang biasa kami sebut sebagai induk dari kami semua. Fania adalah sosok yang dewasa, dijamin deh kalo curhat sama dia, saran-sarannya nggak bakal mengecewakan.
“Iya nih, Fan. Eh, nanti buatnya sama aku ya...”, kata Nita.
“Jangan lupa add semuanya yee...”, sahut Veli.
Aku hanya diam, menikmati makananku yang daritadi di kelas sudah kelaparan. Setelah makan, Fania, Nita, dan Veli pun kembali ke kelas. Sementara aku menemani Laras yang memang doyan makan. Sepertinya dia menyiapkan makanan buat pelajaran membosankan lainnya nanti. Aku heran sama Laras, dia mempunyai badan yang dibilang sangat kurus tetapi makannya banyak. Aku dan Laras pun melangkahkan kaki tetap dengan bahasan gosip kami. Lalu Laras menyapa seseorang, yang aku lihat anaknya tak begitu tinggi untuk seukuran cowok, putih, imut yang tampangnya seperti anak polos. “Hai Dit”, sapa Laras. “Iya Ras”, hanya jawaban itu yang ku dengar kemudian jejaknya hilang setelah kami terus berjalan.
“Siapa tadi, Ras?”, tanyaku sekedar saja.
“Itu tadi Adit, Ri. Dia teman sekelasku waktu kelas 7”
“Oh... Itu yang mantannya Ria?”, tanyaku seperti wartawan lagi.
“Iya kok tahu sih hehe”
“Tau dong, Ria itu teman antar jemput mobil sekolah Ras. Dia satu mobil sama aku”
Kemudian tak ku dengar jawaban dari Laras. Aku dan Laras segera duduk di bangku kami. Aku dan Laras duduk satu bangku. Laras membuka makanannya, dengan gaya seperti singa yang kelaparan aku mengambil bungkus makanan itu. Sahabat-sahabatku yang lain tampaknya masih mengerjakan tugas, sementara aku dan Laras tak pernah kenal dengan namanya tugas. Laras bercerita tentang pacarnya lagi, dan seperti biasa aku mendengarkan curhatannya. Aku tak pernah ada topik untuk curhat ke Laras, sebab aku tak punya pengalaman pacaran sama sekali.
“Itu tadi Adit, Ri. Dia teman sekelasku waktu kelas 7”
“Oh... Itu yang mantannya Ria?”, tanyaku seperti wartawan lagi.
“Iya kok tahu sih hehe”
“Tau dong, Ria itu teman antar jemput mobil sekolah Ras. Dia satu mobil sama aku”
Kemudian tak ku dengar jawaban dari Laras. Aku dan Laras segera duduk di bangku kami. Aku dan Laras duduk satu bangku. Laras membuka makanannya, dengan gaya seperti singa yang kelaparan aku mengambil bungkus makanan itu. Sahabat-sahabatku yang lain tampaknya masih mengerjakan tugas, sementara aku dan Laras tak pernah kenal dengan namanya tugas. Laras bercerita tentang pacarnya lagi, dan seperti biasa aku mendengarkan curhatannya. Aku tak pernah ada topik untuk curhat ke Laras, sebab aku tak punya pengalaman pacaran sama sekali.
***
Sepulang sekolah, aku segera menatap layar komputerku. Ku isikan semua data-dataku di kolom untuk sign up facebook. Alhasil, aku telah mempunyai facebook. Tulisan “add as friend” , ku klik di setiap nama facebook orang yang aku kenal. Tiba-tiba terdapat satu pesan dinding di facebookku.
“Makasih. Siapa?”, tanya anak yang mempunyai nama facebook Aditya Rendra itu.
“Riri. Kamu?”
“Adit. Kamu anak sekolah ya?” (baca : satu sekolah)
“Iya hehe. Lho kamu kok tahu?”
“Iyalah, kamu kan yang sering jalan sama Laras itu kan”
“Makasih. Siapa?”, tanya anak yang mempunyai nama facebook Aditya Rendra itu.
“Riri. Kamu?”
“Adit. Kamu anak sekolah ya?” (baca : satu sekolah)
“Iya hehe. Lho kamu kok tahu?”
“Iyalah, kamu kan yang sering jalan sama Laras itu kan”
Selesai ngebaca itu, nggak tahu kenapa perasaan ini seneeeeeeng banget. Aku nggak tahu apa Adit ini memang memperhatikanku apa dia hanya memperhatikan Laras. Seketika itu juga aku tak bisa memejamkan mataku. Aku terus menerus menatap layar komputer itu, aku dan Adit pun melanjutkan wall to wall kami.
Keesokan harinya, aku jalan berdampingan dengan Adit ketika jalan menuju kelas. Di sudut lorong sekolahku itu, kami hanya diam seperti patung tanpa ada yang berani menyapa dahulu. Kami seperti dua orang yang nggak pernah kenal, diam seribu bahasa. Di hatiku, aku bergumam “Ayo dong, Dit sapa aku dulu. Masa’ aku yang harus mulai, harga diri dong aku kan cewek”. Sampai akhirnya kami berada di ujung lorong sekolah, kami berpisah. Aku ke arah kanan dan Adit ke arah kiri. Sama sekali tak ada ucapan apapun dari mulut kami.
Ini adalah tantanganku di level pertama. Aku harus ke kelas Adit. Ya, aku harus ke kelas Adit buat menjemput temanku, Lita agar cepat pulang. Perasaanku waktu itu gugup, grogi banget. Rasanya keringat dingin ini bercucuran di badanku. Aku melangkahkan kaki mencoba masuk kelas Adit. Waktu masuk kelas itu, rasanya tak ada tanda-tanda keberadaan Lita. Aku nekat, aku berjalan ke arah Adit. Lalu aku mencoba mengatur detak jantungku yang berdetak cepat sejak tadi. Kucoba menghela nafas panjang daaaaaaan “Dit, tahu Lita nggak?”, nafasku jadi lega setelah mengucapkan kata-kata singkat itu. “Nggak tahu, Ri. Tadi dia masih disini kok”, suaranya yang lembut membuat nafasku mengalir pelan dan kembali normal. Suaranya indah menhanyutkanku untuk beberapa waktu. Aku diam sesaat masih belum percaya bahwa aku telah kontak langsung dengan Adit. “Yaudah ayo kita cari”, tiba-tiba dia mengambil tasnya juga mengajakku untuk keluar kelas.
“Mmm... Biasanya sama Fian tuh, Ri”, Adit mencoba menenangkanku. Sebenarnya aku merasa tenang, sama sekali nggak ada pikiran buat nyari Lita, yang penting saat ini Adit ada buat aku.
“Oh... gitu ya. Tapi dimana ya Dit. Disuruh supir mobil anjem buat nyari nih...”, keluhku.
“Iya tenang aja, aku pulang sore kok. Aku bantu nyari”. Perhatiannya meluluhkanku. Aku makin ngerasa tenang rasanya aku nggak pengen pulang sekarang.
Langkah kakiku dan Adit memutari sekolah ini pun mungkin terhitung sudah tiga kali. Tiba-tiba ada suara dari belakang langkahku.
“Ri, tungguin”. Aku menoleh ke belakang, ku lihat cewek putih, pendek, berambut panjang pun datang dengan seorang cowok ke arahku. Tak lain adalah Lita dan Fian. Mereka mendekat, aku nggak kenal dengan Fian hanya sekedar tahu dan sepertinya Lita tak ingin Fian mengenal teman-teman Lita.
“Sorry ya, lama. Tadi diajak anak ini nih nyebelin uh...”, keluh Lita yang sekarang berjalan di sebelahku.
“Iya Lit nggakpapa kok, lama banget kamu ngapain aja?”
“Ada deh hahaha...”, jawab Lita dengan ketawa melebarnya.
“Eh, Ri munduran. Yang pacaran kasihan tuh”, tanganku tiba-tiba ditarik oleh Adit. Adit menarikku hingga aku berada di sebelahnya lagi. Kemudian Lita dan Fian berjalan terlebih dahulu jauh di depanku. Aku kembali gugup, rasanya aku ingin detak jantungku tidak berdetak secepat ini. Aku menjadi diam tak dapat berkata apa-apa ketika jalan berdua dengan Adit. Suasana sekolah saat itu pun juga sepi dan ku lihat Lita dan Fian hilang dari pandanganku. Aku berjalan dengan Adit sampai lapangan dimana mobil antar jemputku diparkir. Tampaknya teman-teman yang lain sudah lama menunggu dan menggerutu. Lita dan Fian sudah tiba di depan pintu mobil itu. Mereka sedang berbincang-bincang, pandangku dari kejauhan. Aku berharap setiap harinya Adit dapat mengantarku hingga mobil seperti Lita dan Fian. Aku melamun sejenak dan bermimpi jauh. Tiba-tiba Adit merusak lamunanku.
“Ri, rumahmu mana emang?”
“Oh iya iya, daerah Ngagel. Eee kalo kamu?”. Ya Allah, kenapa aku jadi gugup seperti ini.
“Semolowaru, Ri”, jawabnya penuh senyum.
Tak terasa kami berjalan hingga sampailah pada depan pintu mobil. Lita yang sudah berada di dalam menggodaku, “Ciyee Riri ayo udahan ngomong-ngomongnya sama Adit. Sampe lupa waktu nih... Hahaha”, sepertinya dia puas menggodaku. Aku sempatkan untuk bicara sejenak dengan Adit.
“Dit, makasih ya udah bantuin aku nyari Lita”, ucapku semanis mungkin.
“Haha iya, nyari Lita udah kayak nyari anjing aja ya, Ri”, dia menanggapinya dengan candaan.
“Heh, enak aja aku denger tau”, sahut Lita yang ternyata diam-diam menguping dari dalam.
“Hahahahaha, aku duluan ya. Makasih Adit”, aku tersenyum sebagai tanda perpisahan hari ini.
“Oh... gitu ya. Tapi dimana ya Dit. Disuruh supir mobil anjem buat nyari nih...”, keluhku.
“Iya tenang aja, aku pulang sore kok. Aku bantu nyari”. Perhatiannya meluluhkanku. Aku makin ngerasa tenang rasanya aku nggak pengen pulang sekarang.
Langkah kakiku dan Adit memutari sekolah ini pun mungkin terhitung sudah tiga kali. Tiba-tiba ada suara dari belakang langkahku.
“Ri, tungguin”. Aku menoleh ke belakang, ku lihat cewek putih, pendek, berambut panjang pun datang dengan seorang cowok ke arahku. Tak lain adalah Lita dan Fian. Mereka mendekat, aku nggak kenal dengan Fian hanya sekedar tahu dan sepertinya Lita tak ingin Fian mengenal teman-teman Lita.
“Sorry ya, lama. Tadi diajak anak ini nih nyebelin uh...”, keluh Lita yang sekarang berjalan di sebelahku.
“Iya Lit nggakpapa kok, lama banget kamu ngapain aja?”
“Ada deh hahaha...”, jawab Lita dengan ketawa melebarnya.
“Eh, Ri munduran. Yang pacaran kasihan tuh”, tanganku tiba-tiba ditarik oleh Adit. Adit menarikku hingga aku berada di sebelahnya lagi. Kemudian Lita dan Fian berjalan terlebih dahulu jauh di depanku. Aku kembali gugup, rasanya aku ingin detak jantungku tidak berdetak secepat ini. Aku menjadi diam tak dapat berkata apa-apa ketika jalan berdua dengan Adit. Suasana sekolah saat itu pun juga sepi dan ku lihat Lita dan Fian hilang dari pandanganku. Aku berjalan dengan Adit sampai lapangan dimana mobil antar jemputku diparkir. Tampaknya teman-teman yang lain sudah lama menunggu dan menggerutu. Lita dan Fian sudah tiba di depan pintu mobil itu. Mereka sedang berbincang-bincang, pandangku dari kejauhan. Aku berharap setiap harinya Adit dapat mengantarku hingga mobil seperti Lita dan Fian. Aku melamun sejenak dan bermimpi jauh. Tiba-tiba Adit merusak lamunanku.
“Ri, rumahmu mana emang?”
“Oh iya iya, daerah Ngagel. Eee kalo kamu?”. Ya Allah, kenapa aku jadi gugup seperti ini.
“Semolowaru, Ri”, jawabnya penuh senyum.
Tak terasa kami berjalan hingga sampailah pada depan pintu mobil. Lita yang sudah berada di dalam menggodaku, “Ciyee Riri ayo udahan ngomong-ngomongnya sama Adit. Sampe lupa waktu nih... Hahaha”, sepertinya dia puas menggodaku. Aku sempatkan untuk bicara sejenak dengan Adit.
“Dit, makasih ya udah bantuin aku nyari Lita”, ucapku semanis mungkin.
“Haha iya, nyari Lita udah kayak nyari anjing aja ya, Ri”, dia menanggapinya dengan candaan.
“Heh, enak aja aku denger tau”, sahut Lita yang ternyata diam-diam menguping dari dalam.
“Hahahahaha, aku duluan ya. Makasih Adit”, aku tersenyum sebagai tanda perpisahan hari ini.
Aku masuk ke dalam mobil itu dan aku duduk di sebelah Lita. Aku dan Lita saling mengejek satu dengan yang lain. Lita yang duduk di ujung dekat pintu membuatnya mudah untuk melambaikan tangan pada Fian dan Adit yang berdiri di lapangan. Aku hanya tersenyum ketika arah mobil semakin lama semakin menjauh dari Adit.
***
Aku tak bisa melupakan hari ini. Mungkin memang tadi hanya beberapa menit bersama Adit, tetapi rasanya hingga aku tidur pun bayangan Adit selalu mengantuiku. Apa benar aku jatuh cinta pada Adit?
Saat liburan sekolah tiba, aku dan Adit bertukar nomor handphone. Adit mengirimkanku sebuah SMS
From : Adit
“Je t’aime”
Aku tak tahu Adit berbicara pake bahasa apa, jelas ku tak tahu maksudnya. Aku balas SMS-nya dengan nada bingung.
To : Adit
“Hah? Bahasa apa itu, Dit? Artinya apa?”
From : Adit
“Apa ya haha. Ini aku lagi les Bahasa Perancis. Mumpung libur panjang nih...”
Salut! Liburan panjang gini kan harusnya refresh otak dong buat nanti kelas 9. Si Adit malah les Bahasa Perancis. Aku nggak tahu artinya itu apaan, bukan salahku kan di sekolah kan nggak ada pelajaran Bahasa Perancis, bahasa yang dikenal romantis itu lho. Wajar aja kalo aku nggak tahu. Hahaha...
Saat liburan sekolah tiba, aku dan Adit bertukar nomor handphone. Adit mengirimkanku sebuah SMS
From : Adit
“Je t’aime”
Aku tak tahu Adit berbicara pake bahasa apa, jelas ku tak tahu maksudnya. Aku balas SMS-nya dengan nada bingung.
To : Adit
“Hah? Bahasa apa itu, Dit? Artinya apa?”
From : Adit
“Apa ya haha. Ini aku lagi les Bahasa Perancis. Mumpung libur panjang nih...”
Salut! Liburan panjang gini kan harusnya refresh otak dong buat nanti kelas 9. Si Adit malah les Bahasa Perancis. Aku nggak tahu artinya itu apaan, bukan salahku kan di sekolah kan nggak ada pelajaran Bahasa Perancis, bahasa yang dikenal romantis itu lho. Wajar aja kalo aku nggak tahu. Hahaha...
Semakin hari, Adit semakin rajin mengirimkanku SMS dengan Bahasa Perancis. Aku nggak tahu sama sekali apa yang ia tulis, tapi buat aku pasti semua artinya adalah kata-kata romantis buat aku. Maklum deh yang lagi inlove kadang suka ke-GR an.
Hari ini anak-anak berhamburan membaca daftar nama siswa kelas 9 yang baru. Hari ini ada pembagian kelas, anak-anak tampaknya saling berebut tempat terdepan dan menyerobot antrian. Teriakan-teriakan anak terdengar memecahkan keheningan sekolah. Situasi ini terlihat melebihi situasi pengumuman kelulusan. Ada yang senang, sedih, kecewa, bahkan juga ada yang datar biasa-biasa aja. Aku mendekati kertas pengumuman itu. Dalam hati aku berdoa, “Allah, semoga aku bisa satu kelas dengan sahabat-sahabatku”. Tiba-tiba aku teringat Adit, aku juga ingin satu kelas dengannya. Amin. Ku lihat kertas pengumuman itu dan ku cari namaku. Dan ternyata aku masuk ke kelas 9L. Aku lihat berderet-deret nama siswa di kelas 9L, tetapi tak kutemukan nama Fania, Nita, Veli, Laras, dan tentunya Adit.
Aku meninggalkan kerumunan itu, dan kemudian bruuuaaakkkk... Duh, sakit banget. Aku terjatuh, tepatnya lagi jatuh bersamaan dengan seseorang. Reflek aku menumpahkan kemarahanku. “Ehhhh, sakit tauuu! Kalo jalan tuh....”
“Duh maaf ya Ri aku nggak sengaja”, ada suara yang memotongku berbicara. Sepertinya aku mengenali suara itu. Suara lembut yang mampu menggetarkan hatiku. Aku menoleh ke arah seseorang di depanku dan kudapati dia ternyata adalah Adit.
“Adit???”, tanyaku bengong
“Maaf ya Ri. Sakit banget ya. Maaf banget ya aku nggak sengaja”, dia berdiri dan membantuku untuk menarik tanganku.
“Iya nggak kok, maaf juga ya aku tadi kasar sama kamu hehe”
“Aku yang salah. Tadi aku lari-lari, abis si Fian lari bawa HP-ku. Aku jadi nabrak kamu deh hehe.. Sakit ya?”, Adit mencoba melihat tanganku yang tergores.
“Nggak kok aku nggak apa-apa. Eh masuk kelas apa nih?”, tiba-tiba aku teringat pertanyaan itu.
“Masuk kelas 9A. Kalo kamu?”
“9L, Dit. Jauh banget ya”
“Adit???”, tanyaku bengong
“Maaf ya Ri. Sakit banget ya. Maaf banget ya aku nggak sengaja”, dia berdiri dan membantuku untuk menarik tanganku.
“Iya nggak kok, maaf juga ya aku tadi kasar sama kamu hehe”
“Aku yang salah. Tadi aku lari-lari, abis si Fian lari bawa HP-ku. Aku jadi nabrak kamu deh hehe.. Sakit ya?”, Adit mencoba melihat tanganku yang tergores.
“Nggak kok aku nggak apa-apa. Eh masuk kelas apa nih?”, tiba-tiba aku teringat pertanyaan itu.
“Masuk kelas 9A. Kalo kamu?”
“9L, Dit. Jauh banget ya”
Lalu Adit dan aku berpisah karena dia harus mengejar Fian untuk mengambil HP nya lagi. Aku duduk sendiri di bangku depan kelas. Lalu beberapa orang membuat suasana ramai.
“Hai, Riri”, sahabat-sahabatku berteriak pas di telingaku.
“Masuk kelas apa, Ri?”, tanya Veli padaku.
“9L. Duh, kita nggak ada yang sekelas ya. Yaaah, sedih deh”
“Iya nih. Sedih banget. Eh si Adit satu kelas denganku lho, Ri”, ucap Nita.
Sontak, aku langsung kaget. Beruntung banget ya si Nita, dia bisa satu kelas dengan Adit. Coba aja aku bisa tukeran kelas sama Nita. Huh...
“Hai, Riri”, sahabat-sahabatku berteriak pas di telingaku.
“Masuk kelas apa, Ri?”, tanya Veli padaku.
“9L. Duh, kita nggak ada yang sekelas ya. Yaaah, sedih deh”
“Iya nih. Sedih banget. Eh si Adit satu kelas denganku lho, Ri”, ucap Nita.
Sontak, aku langsung kaget. Beruntung banget ya si Nita, dia bisa satu kelas dengan Adit. Coba aja aku bisa tukeran kelas sama Nita. Huh...
***
Hari demi hari aku lewati. Banyak hal yang membuatku semangat untuk ke sekolah. Penyemangatku adalah Adit, iya siapa lagi. Setiap hari Adit selalu datang ke kelasku untuk memanggil teman-temannya. Kami sering jalan juga walaupun tak berdua. Tapi aku ingin suatu hari nanti Adit datang untuk mencariku. Kebersamaanku dengan Adit kini kian lekat. Kami sering chatting tiap harinya. Bahkan di status chatting, kami sering memasang presence inlove berdua. Teman-temanku yang lain menggodaku dengan Adit. Di sekolah, tak sedikit gosip tentang aku sama Adit pacaran. Tapi aku sedih tentang gosip itu. Kenyataannya, aku tak berpacaran dengan Adit. Tentang perasaan Adit pun aku nggak tahu yang sebenarnya gimana. Mungkin di chatting dia bisa memasang presence inlove ke aku. Tapi hatinya, apa bisa hatinya merasakan jatuh cinta ke aku?
Tiap aku bertemu dengan teman-temanku, aku selalu harus berhadapan dengan pertanyaan, “Riri kamu pacaran ya sama Adit?”. Pertanyaan itu sangat melukai hati ini. Andai mereka bisa tahu apa yang aku rasakan. Aku bingung apa yang harus aku jawab. Pada kenyataannya aku bukan pacar Adit. Tapi aku dengan Adit bersikap seperti layaknya orang pacaran. Tolong aku, Allah. Suatu hari, Adit menanyakan.
“Kamu jomblo tah, Riri?”
“Hah? Apa? Nggak kok aku pacaran sama Laras hahaha lihat aja tuh di fb”, jawabku grogi. Sebenernya jawabanku basi banget sih.
“Hmm, kamu normal kan?”, kerut di keningnya menandakan bahwa ia sedang bertanya dengan serius.
“Alhamdulillah, sampe sekarang masi hehe. Kenapa, Dit?”
“Nggak papa kok”, jawabnya datar yang sangat mengecewakanku
“Kalo kamu?”
“Masih jomblo. Punya gebetan nggak, Ri?”, pertanyaanku itu membuatku gugup. Aduh, jujur nggak ya.
“Eeeee, ada sih tapi rahasia dong”, jawabku seadanya.
“Yah... Kamu, kasih tahu dooong Ri”
“Kamu duluan aja gimana?”
“Iya deh, aku punya gebetan di sekolah. Dia diantara anak kelas 9K sampe 9M. Kamu?”. Aku berharap anak yang dimaksud Adit adalah anak kelas 9L yaitu aku. Aku yakin selama ini nggak ada cewek lain yang dekat dengan Adit selain aku.
“Siapa? Aku juga punya anak kelas 9A-9C”
“Rahasia dong. Wah, itu pasti aku”. Hatiku bergumam iya itu kamu Adit.
“Haha.. Enak aja”, ledekku. Ternyata bibir ini belum siap untuk mengatakan iya.
“Kamu jomblo tah, Riri?”
“Hah? Apa? Nggak kok aku pacaran sama Laras hahaha lihat aja tuh di fb”, jawabku grogi. Sebenernya jawabanku basi banget sih.
“Hmm, kamu normal kan?”, kerut di keningnya menandakan bahwa ia sedang bertanya dengan serius.
“Alhamdulillah, sampe sekarang masi hehe. Kenapa, Dit?”
“Nggak papa kok”, jawabnya datar yang sangat mengecewakanku
“Kalo kamu?”
“Masih jomblo. Punya gebetan nggak, Ri?”, pertanyaanku itu membuatku gugup. Aduh, jujur nggak ya.
“Eeeee, ada sih tapi rahasia dong”, jawabku seadanya.
“Yah... Kamu, kasih tahu dooong Ri”
“Kamu duluan aja gimana?”
“Iya deh, aku punya gebetan di sekolah. Dia diantara anak kelas 9K sampe 9M. Kamu?”. Aku berharap anak yang dimaksud Adit adalah anak kelas 9L yaitu aku. Aku yakin selama ini nggak ada cewek lain yang dekat dengan Adit selain aku.
“Siapa? Aku juga punya anak kelas 9A-9C”
“Rahasia dong. Wah, itu pasti aku”. Hatiku bergumam iya itu kamu Adit.
“Haha.. Enak aja”, ledekku. Ternyata bibir ini belum siap untuk mengatakan iya.
***
Ku dapati handphoneku berdering. One message received, aku buka SMS itu.
From : Adit
“Ri tadi kamu manis deh waktu di depan kelasku. Aku suka mandang kamu dari jauh. Makanya aku tadi stay di depan kelas terus. Abis kamu di taman depan kelasku sih... Kamu manis, Ri kayak temen lesku”
“Ri tadi kamu manis deh waktu di depan kelasku. Aku suka mandang kamu dari jauh. Makanya aku tadi stay di depan kelas terus. Abis kamu di taman depan kelasku sih... Kamu manis, Ri kayak temen lesku”
Aku seneng dipuji kalo aku manis. Tapi aku nggak suka kalo harus disama-samain kayak temen lesnya. Emang aku sama temen lesnya Adit manis siapa sih, keluhku. Tapi buat apa mengeluh, toh juga aku bukan siapa-siapanya si Adit. Aku balas SMS-nya dengan manis walaupun aku juga sedikit kesal tapi tak bisa disangkal juga kalo aku seneng.